Usil-usil

Perempuan? Ya, aku seorang perempuan. Perempuan yang terlahir dengan keluarga yang berkecukupan dengan orang tua yang aku sendiri tak pernah merasa cukup. Orang terus berpikir aku orang yang membangkang orang tua, tapi mereka tak pernah tahu yang sebenarnya. Mereka tidak pernah tahu bagaimana aku sangat merasa kesepian. Kalau orang tuaku hanya datang menengok dikala adzan subuh belum dikumandangkan dan saat matahari mulai menyonsong, orangtuaku ‘yang membuatku kesepian’ telah pergi meninggalkan ku lagi, mereka yang memandangku anak ‘pembangkang’ tak pernah tahu itu. 
Aku, perempuan yang hidup dalam kepura-puraan dengan kepribadian yang sok ‘tegar’ dan ‘kasar’. Aku membangun pribadi itu sebagai benteng atas kerapuhan diriku. Orang yang sedikit mengetahui tentang ku mengatakan aku pemberani, perempuan luar biasa, juteknya minta ampun, ditakuti para lelaki dan jarang untuk menangis. Jangan percaya tentang itu, kumohon percaya lah saat dimana aku benar-benra sendiri, kau akan menemukan sisi lain dalam diriku, pandangan yang sangat bertolak dengan apa yang mereka umbarkan. Aku, perempuan biasa yang terus ditafsirkan dengan pandangan yang jelas salah.
“Pergilah! Aku tak membutuhkan kalian!” Teriakku dengan suara lantang yang menantang pada malam hari di teras rumah.
“Apa yang kau katakan Nina? Kau! Anak yang tidak tahu tata cara berbicara! Siapa yang mengajarkan mu menjadi perempuan yang kasar?” Tanya Papa padaku sambil membuang muka dan beralih mentap Mama yang sedari tadi hanya berdiam.
“Kasar? Benarkah? Bukankah ini luar biasa, anakmu Nina, yang terlahir dari keluarga yang cukup terpandang memiliki kepribadian yang kasar. Seharusnya kau bertanya pada dirimu sendiri Bapak Dr. Irwan setiawan!” jawabku dengan suara lebih meninggi sambil tertawa hambar dengan wajah datar.
“Kau!” Papa sudah ingin menampar ku dengan tangannya yang tengah terayun dengan raut wajah penuh emosi. Tiba-tiba tak terjadi apapun, Mama ternyata menghentikan tangan besar itu dengan guratan yang terlukis di wajahnya yang tak bisa ku pahami.
“Aku..” tak ku sambung lagi kalimatku, aku terlanjur mendengar dan menyadari pembicaraan yang telah mengusik dari belakang dengan perkataan yang cukup menyakitkan, ya mereka adalah tetangga-tetangga ku.
Huh, tidak ada yang bisa mengerti keluhku membatin. Aku akhirnya melangkahkan kaki yang sedari tadi hanya membeku dengan menopang badan sebisa mungkin agar tidak kehilangan keseimbangan.
“Aku pergi dari sini” Tutup ku sambil berlalu dari hadapan kedua orang tuaku. Bisik-bisik jelas terdengar saat aku melintas. Sayup-sayup isakan tangis dan teriakan mama aku dengar saat kakiku ini kian menjauh dari rumah itu. Rumah yang membuatku jelas merasa kesepian.
Aku benar-benar sendiri rupanya gumamku. Aku berlari dan akhirnya menangis, air mata yang ku tampung sekuat tenaga sedari tadi telah membanjiri dan menyeruak keluar tak beraturan.
“Perempuan bodoh! Kenapa kau harus menangis huh?!” Aku mengumpat diriku sendiri karena dengan mudahnya mengeluarkan air mata, ini sudah kesekian kalinya.
Saat berada di taksi menuju bandara pun aku terus saja menggerutu diringi umpatan yang kulanjutkan dalam pikiranku. Percuma, dari sekian banyak emosi yang menumpuk dalam hati ku tetap saja mampu mengalahkan umpatan serta kata bijak yang terus berputar dalam pikiranku. Aku kalah, aku tetap perempuan rapuh yang air matanya terus mengalir dan tak mau diperintah.
“Kenapa aku harus lahir sebagai perempuan dengan emosi yang tak pernah bisa ku kontrol? Selalu terlibat dengan berbagai perasaan yang tak bisa dituntaskan secara sendiri! Ah!” gerutuku benar-benar kesal.
“Karena tuhan percaya nona makhluk yang istimewa yang mampu menjaga gelar sebagai perempuan yang memiliki berjuta perasaan dan tak akan menyesalinya” jawab supir taksi yang tak pernah ku minta untuk menjawabnya dengan senyuman yang samar-samar ku lihat dibalik kaca spion pengemudi.
“Jangan menjawab! Abaikan saja, aku tak pernah memintamu untuk mendengar dan menjawabnya! Kau jelas menambah kekesalanku!”
“maafkan saya nona, saya tak bisa menahan hasrat untuk mendengar dan menjawab. Saya hanya mencoba untuk mengajak nona berbicara karena saya melihat nona dilanda emosi yang luar biasa dan nona jelas tak bisa mengontrolnya” jawabnya seakan dia psikolog yang hebat dengan nada kasihan yang melekat didalamnya.
Dia sok tahu, walaupun sedikit ada benarnya kata ku dalam hati dan kemudian menjalankan aksi membisu.

Hening, tak ada lagi suara yang menyahut dari bibir si supir.  “Antarkan aku ke bandara Soekarno-hatta”kataku memecah keheningan. Ada guratan dan beberapa ekspresi yang tak ku mengerti dari si supir yang jelas terekam dalam memori otakku. Dia sesekali mengangkat alis sebelah kanannya seperti bingung dan keheranan. Dia ingin bertanya tapi terlihat jelas di wajahnya dia ragu dan segera mundur dari rasa keingintahuan itu. Oh dan apa yang ku lakukan?! Memerhatikannya? Tapi, tidak salah bukan? Tak ada yang menarik untuk dilihat dibalik kaca jendela taksi ini selain ekspresi yang terus berubah. Guratan diwajahnya yang menarik, ah dia manis. Wajahnya yang teduh sejenak mengajakku untuk tersenyum. Bibir ini jelas tak terkontrol kini benar-benar membentuk lengkungan yang sempurna. Alisnya yang terangkat mengajak bibir ini untuk tersenyum jahil. Tiba-tiba dia tersenyum. Ah, aku tertarik untuk kembali sadar dan secepat mungkin menggelengkan kepala “tidak-tidak, jangan” gumamku.

tbc.. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Laporan Kimia Dasar Lanjut, Standarisasi Larutan NaOH 0,1 N dan Penentuan Kadar Asam Cuka

Laporan Kimia Dasar Lanjut, Reaksi Reduksi Oksidasi

Laporan Kimia Dasar Lanjut, Pembuatan dan Sifat Koloid